i'm gonna be crazy.. because of u
when ur gone,
the pieces of my heart are missing u!
i'm gonna be crazy.. because of u
when ur gone,
the pieces of my heart are missing u!
Kesan pertama: jutex, individualis, saklek, serius, nakutin
(23 Nopember 2009)
kalau hati lagi gak bener, badan juga ikut gak fit
kalau badan lagi gak fit, otak juga ikut gak konsen
hingga kepeleset di kamar mandi sampai 2x!
astaghfirullah...
udahan dooooong!!!!
Alhamdulillah...
Akhirnya selesai juga kuliah gw, fuih...
Yudisium yang gila2an sama temen2 2005, pokoknya dimana ada kamera... di sanalah kami berada, he
Dan sambil nunggu masuk gedung pas wisuda, ya foto2 aja lageee... emang dasar ah!
Tawaran (saya anggap demikian) cukup menggiurkan dari ibu untuk menjaga dan mengasuh dua anaknya tak akan saya lewatkan begitu saja. Apalagi saya memang suka anak-anak, dan tentu saja… saya ingin punya anak! he
Berawal dari si mbak yang duluan mampir ke pelukan saya, meski pagi ini si mbak agak kurang bersemangat, karena katanya masih ngantuk! Tapi its oke, inilah tugas awal saya: menjadikannya ceria seperti biasanya walau mengantuk itu masih ada. And I’ve got it!
Menjelang siang, si mbak sudah tak sabar menjemput si adek di sekolah. Katanya, nanti si adek nangis kalau keluar kelas gak menemukan siapa-siapa. Meluncurlah kami ke sekolah si adek! Kekhawatiran mulai menyusup pelan-pelan dalam hati, disertai pertanyaan-pertanyaan konyol yang dapat mengarahkan saya pada kecemasan antisipatif. Bagaimana kalau si adek gak suka saya menjemputnya?! Bagaimana kalau si adek hanya ingin dijemput ibu atau ayah?! Bagaimana kalau si adek menangis keras demi mencari ibu?! Bagaimana kalau si adek gak mau pulang dan saya gagal merayunya?! Dan… bagaimana kalau saya berhenti berpikiran konyol lalu lekas menemui si adek yang sudah lebih dulu bertemu si mbak!
See! Si adek meneriakkan nama saya dengan girang dan langsung meminta saya memakaikan sepatunya! Syukurlah, Tuhan! Si adek bahkan menjawab bahwa saya adalah kakaknya ketika ada temannya yang menanyakan saya, yang memang asing di sana. Jujur saja, si adek ini lebih sulit dipegang daripada si mbak. Tapi…
Si mbak minta jajan di luar gerbang dan si adek pun turut serta meramaikan tukang mainan. Keduanya sibuk mencari mainan yang mereka inginkan. Si adek minta susu, tapi juga ingin mainan. Saya berikan pilihan: satu saja. Dan si adek memilih mainan… tanpa saya harus berdebat dengannya! Unbelievable!
Si adek bercerita lincah tentang permainan-permainan yang ada di sekolah, dan memang cukup banyak nangkring di halam sekolahnya. Maka ketika saya tanyakan apakah itu asyik, si adek bilang iya. Dan ketika saya katakan untuk sekolah lagi, kami pun toast dengan riang.
Kedua bocah itu saya ajak kumpul bersama teman-teman Hercules, tapi rupanya si mbak ogah dan lebih senang nongkrong di kost saya. Saya merayunya dengan sambil bermain dan tak lupa makan di taman rektorat, si mbak tetap geleng kepala, bahkan mulai memaksa untuk segera hijrah dari kampus. Sementara si adek, sibuk tertawa karena digoda oleh mahasiswa sang ayah. Si mbak vs Hercules!
Dan inilah session yang cukup membuat saya kebingungan: makan! Well, saya tidak suka makan nasi dan juga tidak bisa berhubungan dengan makanan pokok WNI itu. Tapi si mbak minta disuapi! Saya sempat panik dan grogi. Namun saya sadar, ini bukan saatnya untuk bingung; toh bukan saya yang makan, toh saya menyuapinya dengan sendok. Ini lebih dari sekedar tanggung jawab saya pada ibu dan ayah yang menitipkan mereka. Ini adalah… ajang bagi calon ibu untuk belajar! Dan saya adalah calon ibu itu! Saya yang anti pada nasi, tapi tak rela kelak anak saya minta makan pada orang lain. Maka saya tau, saya harus belajar!
Fine, saya mulai kelelahan ketika mendampingi si adek main bola (si mbak bersama Amel). Lebih kelelahan lagi ketika harus merayunya agar mau main bola di Fakultas, karena saya harus rapat dengan OASIS, sehingga akan lebih mudah mengontrolnya. Tapi si adek memang calon pemain bola sejati. Sebab si adek lebih memilih saya tinggal main bola sendiri daripada harus main bola di Fakultas. Ingin main bola di lapangan, katanya sambil menunjuk lapangan di depan SC. Saya kaget! Lalu harus bicara apa pada ibu dan ayah jika si adek lecet karena saya tinggal sendiri?! Dan saya belum cukup gila hingga harus meninggalkannya main bola sendirian. Bahkan jika mungkin, rapatnya saya pindah ke lapangan!
Tapi harus dengan gaya apa merayu si adek yang ganteng ini?! Meminta si adek mengantarkan saya ke atas untuk menyerahkan kunci dan mengambil stempel SEMA saja si adek maju-mundur. Pelan-pelan saya ajak bicara dan beri penjelasan sekaligus meyakinkan si adek bahwa kami akan ke lapangan lagi setelah saya menyerahkan stempel. Sudah berdiri di depan pintu Fakultas, si adek mundur lagi! Lagi, saya yakinkan bahwa ini tak akan lama. Dan Alhamdulillah, si adek mau! Perjuangan…
Saya, Amel dan Arip rapat. Si mbak sibuk menggambar di whiteboard juga saling mengirim surat dengan Amel. Si adek pun demikian. Tapi ternyata, bola hijau yang kecil lebih menggoda daripada spidol dan papannya yang sebetulnya jauh lebih besar. Kali ini si adek didampingi Seno. Sampai Seno kelelahan dan tak sanggup lagi, si adek masih giat berlatih. Baju kotor. Celana dekil. Kaki bertompel di telapaknya. Wajah berkeringat. Rambut basah seperti habis mandi. Pebola sejati! Itu pun tak membuatnya berhenti, padahal si adek sendiri sudah bilang capek. Tapi si adek mengaku harus sering berlatih untuk tanding bola. Dan saya pun tersenyum.
Ibu dalam perjalanan menuju kampus. Saya, si mbak dan si adek menunggu sambil duduk. Tapi rupanya, anak-anak ibu dan ayah ini tidak bisa hanya duduk. Bergerak! Maka, segala jenis permainan yang tak menguras tenaga pun dimainkan. Saya mengawali dengan permainan andalan saya: gajah berjalan. Si adek tertawa. Si mbak tertawa. Saya? Hm, tak ada alasan untuk tidak ikut tertawa kan?
Permainan berikutnya dimainkan sambil berdiri: lingkaran besar dan bunga mengembang (kalau saya tidak salah). Lingkaran besar selesai dimainkan. Beberapa orang yang lewat melihat ke arah kami dan tertawa. Tawa orang-orang itu saya bagi dalam dua jenis: lucu yang senang melihat si mbak dan si adek, lucu yang aneh melihat saya! Oh, Tuhan… gelar S.Psi saya! Wajah tembok saja lah! Bagaimana tidak, kami bermain di atas tangga banyak dekat gedung B, dimana orang banyak hilir-mudik! Biarlah, toh mungkin saya akan melakukannya lagi demi anak saya kelak. Maka sekarang, saya harus belajar!
Permainan kedua sambil berdiri yaitu bunga mengembang. Dua orang berpegangan membentuk lingkaran, satu orang lagi berada di tengah. Lalu dua orang yang berperan sebagai lingkaran itu melompat-lompat ke samping kanan dengan masih membentuk lingkaran. Bayangkan, saya harus melompat-lompat bersama dua anak kecil! Kalau mereka, tentu lucu. Kalau saya? Seno akan meledek saya dengan kata “gempa” kalau melihatnya! Orang-orang berjalan sambil tertawa melihat kami. Dan saya belajar menerimanya, meski saya merasa diri saya cukup konyol. Tapi tak apa lah, toh mungkin saya akan lebih konyol dari itu suatu hari nanti. Dan sekarang, saya belajar!