Kamis, 05 Juli 2012

SOFI, ARING KANGEN!


Keponakan saya yang manis ini ada di mana? Entahlah!

Dia pergi tahun lalu dan tak pernah kembali hingga kini. Saya menangisinya dalam diam dan tanpa air mata. Hanya berharap dia kembali secepat yang dia bisa. Terakhir kali mendengar suaranya, dia sudah bisa bicara walau tak begitu jelas. Sesekali melantunkan doa-doa harian yang dia mampu. Hingga saya tak mampu berkata-kata.

Semoga Allah mengirim langkahnya kembali pada kami. Amin.

Kamis, 21 Juni 2012

MOELAN to SEMPUR (9 Mei '09)

alhamdulillah..

sejauh apapun aku pergi, Bogor tetap di hati
sejauh apapun aku melangkah, Bogor tetap dinanti

ku sesali memang, sebab tidak mengindahkan hasrat mereka atas hadirku
ku sesali memang, sebab mengakhirkan mereka di kedatanganku
ku sesali sungguh...

dan malam tadi...
akhirnya kami bercumbu atas nama rindu
kami berbincang di atas kisahku dan kisah mereka juga kisah lainnya
kami tertawa di bawah langit tak berbintang
kami.. bersama di satu hari

ku yakinkan, mereka ku indahkan
ku yakinkan, mereka tak lagi ku akhirkan

maaf, teman..
namun, walau hanya semalam..
sungguh, itu indah... bagiku

[mata-fany-resty-nuri-rani-dendro-dhani-teguh-azuy-azath-anwar]

Terkabar Tanggal delapan (Ibu Atik - 06 Desember 2009 jam 7:12)


Sebentar…
Kau ucap tempo hari tanggal delapan

Sebentar…
Sudah kauputuskan
Untuk hengkang dari Malang-mu

Sebentar…
Ucapan itu berarti kabar bagi kami
Untuk menyiapkan hati
Lepaskan memori
Renggangkan diri

Bahwa sejak itu tidak lagi kita bergurau
Bahwa keakraban yang alamiah terbentuk
Mulai tanggal delapan tak bisa terbaur

Kau sudah tak manjakan pada ibu
Berdempet dan mengais cerita tentang kami
Bak reporter investigatif menelisik kenangan kami
Tentang debut kisah muda kami
Awal darimana kami menjalin tambatan hati
Menangis d pangkuan krna g mau ada perpisahan...............

Tersudahi pula
Berbaur bermain bersama anak-anak kami
Di lapangan hijau UIN
Di desa termarjinalisasi versi Sidowayah
Yang membuat kita semakin dekat

Oh ya
Bersama ombak biru pantai Ngliyep
Bermain tulisan di pasir
Semuanya kami simpan dalam foto-foto

Kami tak lagi dengar ocehan
mbak Mata........…mbak Mata
Ke sini dong ?

Pun tak dengarkan tone anehmu
Zara…......Zara
Ayo ke sini….......
Alul......alul bubuk dekat mbak MAta

Hanya gerak tubuh bersama cerita
Yang kaubuat untuk buah hati kami
Membekas dalam teknik parenting kami
Kau terima anak-anak itu
Sebagaimana dia anak-anak
Kau sobekkan kertas agar dia gembira
Kau hadiahi pensil bekas agar dia tetap riang
Agar rumput-rumput itu
Bisa digambar di sombekan kertas lusuh itu
Kau beri Alul bola biar bs berekspresi

Sapaan dan keakrabanmu
Bersama kekhasan gesture-mu
Memantik bak sesaudara
Tak terasa seolah hanya sebagai mahasiswa
Yang selesai kontrak terbuang habis ujian skripsi
Formalitas bimbingan telah terhapus
Tergantikan sesaudara

Pembedamu atas kami menambah kami mengerti
Membelajari kami mengenali ragam manusia
Membelajari pula
Bahwa tak perlu bedakan diri
Semua melatih kami
Belajar bersaudara dengan yang berbeda
Menambah satu daras
Bahwa yang tua perlu mengetahui yang muda
Untuk mengukir narasi sesaudara

Selamat jalan “anakku”
Kudengar ceritamu esok hari
Tentang cita-citamu
ku dengar ceritamu esok hari
Tentang kesuksesan kamu

Maafkan kami sekeluarga
Doa kami
Allahumma akrimki bi nuuril ilmi
Ayah, Ibu, Zara dan Alul
Akan buat pahatan untuk ukiran kisah
Biar Zara juga bisa tulis cerita
Berjudul mbak Mata!

Malang, 06 Januari 2010

Belajar Bersama Dua Guru Kecil

(21 Nopember 2009)

Tawaran (saya anggap demikian) cukup menggiurkan dari ibu untuk menjaga dan mengasuh dua anaknya tak akan saya lewatkan begitu saja. Apalagi saya memang suka anak-anak, dan tentu saja… saya ingin punya anak! heBerawal dari si mbak yang duluan mampir ke pelukan saya, meski pagi ini si mbak agak kurang bersemangat, karena katanya masih ngantuk! Tapi its oke, inilah tugas awal saya: menjadikannya ceria seperti biasanya walau mengantuk itu masih ada. And I’ve got it!

Menjelang siang, si mbak sudah tak sabar menjemput si adek di sekolah. Katanya, nanti si adek nangis kalau keluar kelas gak menemukan siapa-siapa. Meluncurlah kami ke sekolah si adek! Kekhawatiran mulai menyusup pelan-pelan dalam hati, disertai pertanyaan-pertanyaan konyol yang dapat mengarahkan saya pada kecemasan antisipatif. Bagaimana kalau si adek gak suka saya menjemputnya?! Bagaimana kalau si adek hanya ingin dijemput ibu atau ayah?! Bagaimana kalau si adek menangis keras demi mencari ibu?! Bagaimana kalau si adek gak mau pulang dan saya gagal merayunya?! Dan… bagaimana kalau saya berhenti berpikiran konyol lalu lekas menemui si adek yang sudah lebih dulu bertemu si mbak!
See! Si adek meneriakkan nama saya dengan girang dan langsung meminta saya memakaikan sepatunya! Syukurlah, Tuhan! Si adek bahkan menjawab bahwa saya adalah kakaknya ketika ada temannya yang menanyakan saya, yang memang asing di sana. Jujur saja, si adek ini lebih sulit dipegang daripada si mbak. Tapi…

Si mbak minta jajan di luar gerbang dan si adek pun turut serta meramaikan tukang mainan. Keduanya sibuk mencari mainan yang mereka inginkan. Si adek minta susu, tapi juga ingin mainan. Saya berikan pilihan: satu saja. Dan si adek memilih mainan… tanpa saya harus berdebat dengannya! Unbelievable!
Si adek bercerita lincah tentang permainan-permainan yang ada di sekolah, dan memang cukup banyak nangkring di halam sekolahnya. Maka ketika saya tanyakan apakah itu asyik, si adek bilang iya. Dan ketika saya katakan untuk sekolah lagi, kami pun toast dengan riang.

Kedua bocah itu saya ajak kumpul bersama teman-teman Hercules, tapi rupanya si mbak ogah dan lebih senang nongkrong di kost saya. Saya merayunya dengan sambil bermain dan tak lupa makan di taman rektorat, si mbak tetap geleng kepala, bahkan mulai memaksa untuk segera hijrah dari kampus. Sementara si adek, sibuk tertawa karena digoda oleh mahasiswa sang ayah. Si mbak vs Hercules! 
Dan inilah session yang cukup membuat saya kebingungan: makan! Well, saya tidak suka makan nasi dan juga tidak bisa berhubungan dengan makanan pokok WNI itu. Tapi si mbak minta disuapi! Saya sempat panik dan grogi. Namun saya sadar, ini bukan saatnya untuk bingung; toh bukan saya yang makan, toh saya menyuapinya dengan sendok. Ini lebih dari sekedar tanggung jawab saya pada ibu dan ayah yang menitipkan mereka. Ini adalah… ajang bagi calon ibu untuk belajar! Dan saya adalah calon ibu itu! Saya yang anti pada nasi, tapi tak rela kelak anak saya minta makan pada orang lain. Maka saya tau, saya harus belajar!

Fine, saya mulai kelelahan ketika mendampingi si adek main bola (si mbak bersama Amel). Lebih kelelahan lagi ketika harus merayunya agar mau main bola di Fakultas, karena saya harus rapat dengan OASIS, sehingga akan lebih mudah mengontrolnya. Tapi si adek memang calon pemain bola sejati. Sebab si adek lebih memilih saya tinggal main bola sendiri daripada harus main bola di Fakultas. Ingin main bola di lapangan, katanya sambil menunjuk lapangan di depan SC. Saya kaget! Lalu harus bicara apa pada ibu dan ayah jika si adek lecet karena saya tinggal sendiri?! Dan saya belum cukup gila hingga harus meninggalkannya main bola sendirian. Bahkan jika mungkin, rapatnya saya pindah ke lapangan!
Tapi harus dengan gaya apa merayu si adek yang ganteng ini?! Meminta si adek mengantarkan saya ke atas untuk menyerahkan kunci dan mengambil stempel SEMA saja si adek maju-mundur. Pelan-pelan saya ajak bicara dan beri penjelasan sekaligus meyakinkan si adek bahwa kami akan ke lapangan lagi setelah saya menyerahkan stempel. Sudah berdiri di depan pintu Fakultas, si adek mundur lagi! Lagi, saya yakinkan bahwa ini tak akan lama. Dan Alhamdulillah, si adek mau! Perjuangan…

Untungnya si mbak datang. Saya rayu si mbak agar mau mengajak si adek ke Fakultas dan bermain-main di atas. Guess what… si adek mau! Saya dapatkan si adek lewat si mbak! Maka, jadilah dua malaikat kecil ibu dan ayah itu menuju Fakultas, bersama Amel, Arip dan saya, tentunya.

Saya, Amel dan Arip rapat. Si mbak sibuk menggambar di whiteboard juga saling mengirim surat dengan Amel. Si adek pun demikian. Tapi ternyata, bola hijau yang kecil lebih menggoda daripada spidol dan papannya yang sebetulnya jauh lebih besar. Kali ini si adek didampingi Seno. Sampai Seno kelelahan dan tak sanggup lagi, si adek masih giat berlatih. Baju kotor. Celana dekil. Kaki bertompel di telapaknya. Wajah berkeringat. Rambut basah seperti habis mandi. Pebola sejati! Itu pun tak membuatnya berhenti, padahal si adek sendiri sudah bilang capek. Tapi si adek mengaku harus sering berlatih untuk tanding bola. Dan saya pun tersenyum.

Ibu dalam perjalanan menuju kampus. Saya, si mbak dan si adek menunggu sambil duduk. Tapi rupanya, anak-anak ibu dan ayah ini tidak bisa hanya duduk. Bergerak! Maka, segala jenis permainan yang tak menguras tenaga pun dimainkan. Saya mengawali dengan permainan andalan saya: gajah berjalan. Si adek tertawa. Si mbak tertawa. Saya? Hm, tak ada alasan untuk tidak ikut tertawa kan?

Permainan berikutnya dimainkan sambil berdiri: lingkaran besar dan bunga mengembang (kalau saya tidak salah). Lingkaran besar selesai dimainkan. Beberapa orang yang lewat melihat ke arah kami dan tertawa. Tawa orang-orang itu saya bagi dalam dua jenis: lucu yang senang melihat si mbak dan si adek, lucu yang aneh melihat saya! Oh, Tuhan… gelar S.Psi saya! Wajah tembok saja lah! Bagaimana tidak, kami bermain di atas tangga banyak dekat gedung B, dimana orang banyak hilir-mudik! Biarlah, toh mungkin saya akan melakukannya lagi demi anak saya kelak. Maka sekarang, saya harus belajar!
Permainan kedua sambil berdiri yaitu bunga mengembang. Dua orang berpegangan membentuk lingkaran, satu orang lagi berada di tengah. Lalu dua orang yang berperan sebagai lingkaran itu melompat-lompat ke samping kanan dengan masih membentuk lingkaran. Bayangkan, saya harus melompat-lompat bersama dua anak kecil! Kalau mereka, tentu lucu. Kalau saya? Seno akan meledek saya dengan kata “gempa” kalau melihatnya! Orang-orang berjalan sambil tertawa melihat kami. Dan saya belajar menerimanya, meski saya merasa diri saya cukup konyol. Tapi tak apa lah, toh mungkin saya akan lebih konyol dari itu suatu hari nanti. Dan sekarang, saya belajar!

Maka, terima kasih untuk dua guru kecil saya hari ini: Mbak Zara dan Adek Alul. Mereka yang membuat saya banyak belajar, meski pasti belum cukup, meski hanya enam jam. Dan terima kasih atas kecupan manis dari Alul jam 2 tadi.

Ma, kucingku pergi..

(15-04-2010)


Ma.. 
Aku sukaaa sekali dengan kucing ini. Aku boleh pelihara kucing ini ya, Ma? Aku tau, aku emang udah pernah punya kucing sebelumnya. Tapi yang ini beda, Ma... Aku seneng deh punya kucing ini. Dan aku sayaaang banget sama kucing ini. Makasih udah bolehin aku punya kucing ini ya, Ma. 

........ 

Ma.. 
Aku ngusir kucingku pergi. Aku minta kucingku ninggalin aku. Kucingku emang bilang gak mau pergi, Ma. Tapi kucingku gak kayak kucing-kucing lain yang merengek atau memohon atau meminta Tuannya supaya gak mengusirnya. Kucingku cuma bilang gak. Gitu doang, Ma. 

Aku nangis, Ma.. 
Kucingku bener-bener pergi. 
Aku tau kok, kucingku masih di pagar depan. Tapi dia gak mau masuk, Ma. Mungkin kucingku pengen aku yang ajak dia masuk, tapi aku gak akan lakuin itu, Ma. 
Dan akhirnya kucingku pergi. 

Ma.. 
Aku gak akan ke luar rumah untuk mencari dan membawa kucing itu kembali pulang. Aku gak akan lakuin itu, Ma. 
Kalau kucing itu kembali pulang, itu karena kucing itu emang mau pulang. Bukan karena aku yang minta kucing itu pulang. Toh kucing itu tau jalan pulang, karena kucing itu pernah di sini. 

Kalau kucing itu gak juga kembali pulang, masih banyak kucing yang lain, Ma..

barokallah..


duhai Allah...
jika nanti di tengah jalan dia temukan cita dan cintanya, aku mohon dengan sangat padaMU untuk
membuatnya mampu menggapai cita dan cintanya hingga ia merasa bahagia

duhai Allah...
jika nanti di tengah jalan dia mulai terseok dan jatuh, aku mohon dengan sangat padaMU untuk
membuatnya berdiri dan menguatkan langkah di hidupnya

duhai Allah...
jika nanti di tengah jalan dia mulai menemukan masalah, aku mohon dengan sangat padaMU
bukakanlah pikirannya hingga dia dapat lebih memahami yang benar dan salah,
terangkanlah penglihatannya hingga dia dapat lebih melihat yang mungkin tak terlihat olehnya,
jernihkanlah telinganya hingga dia dapat mendengar yang mungkin tak terdengar olehnya,
kuncilah mulutnya dari kata-kata yang tak akan menyelesaikan apapun,
dan Allah... jangan biarkan kakinya melangkah menuju tempat yang salah,
dan izinkanlah tangannya tetap menengadah hanya padaMU

duhai Allah...
jika nanti di tengah jalan dia mulai tidak sabar dan menjadi keras,
pada dirinya, pada orang lain,
aku mohon dengan sangat padaMU
lembuatkanlah, Allah... lembutkanlah, lembutkanlah hatinya,
lapangkanlah hatinya,
hingga syetan tak mampu mengacak-acak hati yang lembuat itu

duhai Allah...
jadikanlah dia salah satu penghuni firdausMU yang hanya Engkau yang memberi izin
bahagiakanlah dia di duniaMU juga di akhiratMU
bahagiakanlah dia...
bahagiakanlah Sadid Al Muqim

amin yaa robbal 'alamin...

20 SEPTEMBER 2010


hari ini, bertahun lalu kau datang mengetuk pintu dunia dengan salam berair mata
tahun berganti kau belajar tanpa henti
mengenal abjad mulai berkata,
kata per kata kau bercerita
pahami angka mulai menghitung,
hitung berhitung kau bertutur

meski kadang jatuh saat berjalan,
kau membuat dirimu berlari
meski kadang tersandung saat berlari,
kau membuat dirimu melompat
hingga citamu menajdi sejajar dengan makhluk Tuhan yang diberkahi

lucu mungkin mengingatmu saat kecil
tapi ternyata..
kau bukan lagi bocah 5 atau 6 tahun,
meski 2+3 = 5 atau 2x3 = 6

kau tak lagi perlu dipegangi,
meski kau selalu butuh pegangan
kau tak lagi harus dimarahi,
meski kau selalu butuh nasehat

BERJUANGLAH selalu hingga kau merasa tak lagi mampu bergerak
BERKARYALAH selalu hingga kau merasa tak lagi mampu berpikir
RASAKANLAH selalu hingga kau tak lagi mampu merasa
BERBAHAGIALAH selalu hingga mati yang menghentikannya di bumi

barokallah..

(Bojonggede, 20.09.10)

10-10-10 part 1



Saya baru terlelap 1 jam ketika jam 3 pagi ayah membangunkan saya dengan sebuah ketukan di pintu kamar. Ketika saya buka pintu, tampak jelas ayah sudah berpakaian rapi dengan kunci mobil di tangan kiri. Ayah bilang, “Belang kesakitan di rumah sakit, ayah-mama mau ke sana. Kakak bangun, pintu kunci dulu ya.” Saya beku di tempat. Dengan kondisi badan lelah dan baru 1 jam menenggelamkan diri pada nyamannya selimut, kata-kata ayah membuat saya blank sesaat. Saya tidak berkata apa-apa, hanya duduk di atas kasur. Saya membayangkan jalanan Laladon yang menjadi sangat sepi pada jam begini. Saya lihat mama berbicara kepada nenek, menjelaskan apa yang terjadi, dengan sabar. Sementara itu pikiran saya melayang pada tadi malam, “Saturday night”, yang saya tulis di status.

Malam ini saya sadar sudah kelewat batas. Saya izin bertemu teman-teman, “Sekedar ngobrol karena udah lama gak ketemu”, kata saya pada mama melalui sms. Dan mama memberi ACC, asal tidak sampai malam. Saya meng-amin-i.
Singkat cerita, pulang kerja saya bertemu teman-teman di salah satu tempat makan dekat Tugu Kujang. Kami makan bersama, ngobrol, berfoto-foto, dan “rapat” mengenai rencana kegiatan yang sedang kami rancang. Tanpa terasa, jam tangan ungu saya serasa menampar pipi. Hampir jam 11 malam! Astaghfirullah.. Belum cukup, hp di tas yang tak sempat saya sentuh karena asyik menulis, menunjukkan 5 missed calls dan 6 messages. Dan semuanya dari rumah! Ampun, Gusti.. Orang tua pasti cemas dan khawatir. Saya memutuskan pulang bersama seorang teman.

Sampai di rumah, ayah yang menyambut. Lebih tepatnya ayah menunggu saya pulang, karena yang lain sudha tidur. Mama sudah terbaring di kamar, saya mengintipnya sebentar. Masih tersisa raut khawatir di wajahnya. Ayah tidak berkata apa-apa. Saya merasa sangat bersalah. Bahkan ayah masih menunggu sampai saya benar-benar masuk kamar, setelah selesai dari kamar mandi, baru kemudian beliau tidur. Saya pun tidur, dan belum sempat meminta maaf.

Lalu sekarang, kedua orang tua saya sibuk berbenah diri sebelum berangkat ke rumah sakit. Saya diam memperhatikan. Tiba-tiba merasa sangat menyesal. Ayah bertanya, “Kakak mau ikut?”, dan saya hanya mampu menggeleng pelan. Kalau saya ikut, adik-adik tidak ada yang menjaga, meski sebetulnya ingin saya bersiap secepat kilat dan turut serta hanya demi memastikan bahwa kedua orang tua saya baik-baik saja dalam perjalanan dan selamat sampai tujuan. Ingin rasanya saya melihat kakek yang sedang dirawat. Tapi saya pikir, besok pagi saya datang menengok kakek.

Jam 3 pagi kedua orang tua saya berangkat. Otak saya dipenuhi pikiran jelek. Sangat jelek. Pertanyaan-pertanyaan menyeramkan yang konyol tentang perjalanan menuju rumah sakit, memenuhi otak saya. Dan saya merasa makin menyesal. Saya belum sempat meminta maaf karena pulang tengah malam, sementara dini hari keduanya harus ke luar. Tuhan, apapun bias terjadi kan..
Perasaan tidak tenang saya mungkin dinilai “lebay” oleh sebagian orang. Tapi bagi saya, ini adalah penyesalan yang tulus juga cinta. Dan mestinya, perasaan ini ada pada diri tiap manusia yang mengaku sebagai anak, ketika membaca tulisan ini, ketika mengingat orang tuanya.

“Kak, alhamdulillah udah sampe RS”.
Tapi entah kenapa, saya malah makin resah dan baru tidur setelah subuh. Astaghfirullah…

DRAMA DI GERBONG KERETA


Senin, 5 Juli 2010 ; 09.05

Saya hanya jadi penonton di gerbong 2 KA Ekonomi tujuan Jakarta Kota saat drama memilukan itu terjadi, antara anak lelaki dengan ibunya. Saya dan seorang ibu yang menyaksikannya hanya mampu mengelus dada, menahan diri agar tidak gelap mata yang pada akhirnya hanya akan menambah banyak penonton saja. Sejujurnya, saya tidak mengerti bahasa yang digunakan para pemeran drama tersebut. Tapi, dengan mengatasnamakan basic keilmuan selama 4 tahun berikut gelar sarjana yang disandang (*sombong), saya mencoba memahami arti body language kedua pemain tersebut.


Miris hati saya melihat si anak, yang ternyata sudah punya anak perempuan, menghampiri ibunya yang duduk diantara penumpang lain (dia dan saya berdiri) lalu memarahi ibunya hanya karena sang ibu bertanya kepada tukang jualan apakah dia menjual obat luka kaki. Usut punya usut, ternyata kaki sang ibu terluka akibat terbentur saat hendak naik kereta. Sang anak pun berbicara dengan nada keras dan kasar dalam bahasanya yang tidak saya mengerti. Si ibu memperlihatkan luka memar kebiruan-nya, namun anak lelakinya memalingkan wajah, ogah melihat luka wanita yang melahirkannya.

Beberapa kali ibu berbicara kepadanya, tapi sekalipun tak direspon. Ingin rasanya saya menjewer telinga bapak muda itu lalu menarik wajahnya hingga tepat berhadapan dengan wajah wanita yang begitu mirip dengannya! Tapi apa daya, saya hanya seorang penonton yang tak mampu melakukan itu.
Detik berikutnya, anak kecil berusia sekitar 4 tahun menghampiri sang ayah, yang adalah pemeran antagonis dalam drama memilukan ini. Tapi ternyata, si anak kecil –yang menurut saya tidak cantik– itu pun tak kalah antagonis dari ayahnya. Like father like daughter. Putri kecil berambut pendek itu memeletkan lidah ke arah neneknya! Beruntung tangan saya sedang memegang hp, kalau tidak, sudah saya pelintir lidahnya yang pendek itu! Dia meminta agar ayahnya menggendongnya, dan sang ayah pun melakukan itu. Ayah yang baik, tapi bukan anak yang baik. Sambil berdiri menggendong anaknya, ia pun menggendong tas ransel, dan tangan kanannya memegang sandal sang buah hati. Dan tebak apa yang dilakukan istrinya yang juga berperan dalam drama itu?? Hanya satu hal yang dilakukan sang istri sekaligus menantu ibu tua itu: TIDUR!!

Si ibu yang tidak tega melihat beban sang anak pun berinsiatif meringankannya dengan mengambil alih penjagaan sandal sang cucu. Ibu tua itu mengambil sandal sang cucu dari tangan anaknya, tetapi anaknya menarik kuat tidak ingin melepasnya. Padahal, apa salahnya sih, Pak?! Ibu pun meminta agar diizinkan memegang sandal cucunya. Tapi apa yang dilakukan sang anak?? Bukannya menjawab, anak lekakinya yang sudah menjadi ayah itu malah melengos pergi meninggalkan sang ibu dan mengambil posisi yang jauh dari ibunya. Sementara istrinya masih tetap tidur.

Saya menyesali satu hal, mengapa saya harus tertangkap basah oleh ibu itu saat sedang menyaksikan duka yang ia alami. Hingga membuatnya tertunduk tanpa kata, tapi bibirnya masih tersenyum. Senyum serba salah. Dan andai ekspresi itu berbahasa, maka inilah katanya: “Apa salah bundo, nak?”

Apa-apaan ini, dunia?
Rasulullah saja bersabda: “Ibumu, Ibumu, Ibumu, baru Ayahmu”. Lalu, mengapa ada anak yang tega berbuat begitu keji terhadap ibunya?
Tapi, “Hati-hati, Pak. Mungkin si kecil yang tidak cantik itu akan memberi kehormatan kepada Anda, suatu ahri nanti, untuk merasakan apa yang pernah Anda lakukan terhadap ibu Anda”, pesan yang tak mampu saya ucapkan.

TUHAN.. AKU MAU JADI ORANG KAYA


(07-10-2010)


Duhai, Tuhan..
aku mau jadi orang kaya
tak pintar pun biarlah, asal punya uang segudang, bisa puas ku bagikan
karena aku cinta sesama

Duhai, Tuhan..
aku mau jadi orang kaya
tak beranak pun terserah, asal punya istana megah, bisa ajak mereka tinggal, punya orang tua beratus pasang, punya anak berjuta-juta
dari jalanan yang terbuang
karena ingin mereka merdeka

Duhai, Tuhan..
aku mau jadi orang kaya
tak bekerja pun ya sudah, asal punya banyak usaha, bisa ajak mereka berkarya, lihat perjuangan dan kerja keras
dari tangan tak bertangan, dari kaki tak melangkah
karena ingin mereka merasa

Duhai, Tuhan..
aku mau jadi orang kaya
tak sarjana pun tak apa, asal punya ribuan sekolah, bisa ajak mereka belajar, bagi si kecil yang menderita, bagi si tua yang makin renta
mengeja huruf menyulap kata, menyusun kata jadi cerita
biar tak dipandang sebelah mata, oleh dia yang berkemeja
karena ingin mereka terhormat

Duhai, Tuhan..
aku mau jadi orang kaya
tak sehat pun okelah, asal punya rumah sakit hebat, biar sembuh yang tak ber-uang, biar berlari yang tak berjalan
biar tersenyum yang berduka
karena ingin mereka bahagia

Tuhan sayang..
aku sungguh ingin kaya
buat aku jadi kaya, ambil dari yang tak tau bersedekah, biar mereka tau rasa, menengadah pada yang papa

aku ingin jadi orang kaya, Tuhan..
karena lelah melihat kemiskinan

INDONESIAKU SAYANG, INDONESIAKU YANG TERLUKA


(berakhir di atas stasiun KA Ekonomi Bogor – Jakarta Kota, 28-10-2010) 


Dulu, kelahiranmu begitu dinanti
Diperjuangkan hingga batas akhir
Jiwa melayang menjadi mati
Pengorbanan itu tak jua berhenti

Kau lahir bagai ‘bayi’ penuh pesona
Berccap “anak ingusan” rasanya
Yang merangkak pelan tatap dunia

Biar saja mereka mencela
Tak perlu dengar teriakan nada sumbang
Kau tetap yang terhebat dan terindah
Meski ‘bayi’ lain bermunculan
Atau ‘si remaja’ yang jadi ‘dewasa’
Kau tetap yang terhebat dan terindah
Meski ‘teman kecil’-mu menyusul di tikungan
Meski yang ‘dewasa’ seakan menggilas
Kau tetap yang terhebat dan terindah

Saat ‘dewasa’ menjemputmu
Kami jadi saksi atas kecemerlangan itu
Kau terlihat anggun
Tak jadi angkuh

Tapi entah..
Perlahan namun pasti senyummu pudar
Yang tertinggal hanya air mata kesakitan
Wajah penuh luka
Berbalut kecewa
Dikhianati kami yang kau damba penuh harap
Tuk kembalikan kau dan pesona

Maaf, sayang…
Kami menyakiti hati indahmu
Berulang-ulang membuat pilu
Hingga perlu kau mengamuk
Dan menangis dalam bisu
Ampuuuuun…
Sungguh, ampun…

Maafkan kebodohan ini
Maafkan kerakusan kami
Maafkan ke-alpaan kami
Maafkan membuatmu sakit

Ampuuuuun…
Sungguh, ampun…

SATOE BULAN Bersama Mertua & Keluarga Suami

Tepat 1 bulan tinggal bersama mertua dan keluarga suami..

Aku seperti memenangkan award bergengsi saat menyadari kenyamanan dan keharmonisan yang tercipta antara kami. Tak berlebihan. Sebab aku membawa sejuta tanya, semilyar doa saat kunyatakan siap tinggal sementara bersama keluarga suami. Keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, Mbah, Mbak dan suami beserta dua anaknya, Mas, Adik perempuan dan laki-laki. Lebih dari itu, bayangan ibu mertua dan saudara ipar yang kejam seakan terus dicekoki teman-teman padaku.


Dan kini, aku menggugat segala!
Tak pernah tak ada cerita saat melakukan kegiatan bersama ibu. Seperti mbak yang tak pernah menggurui. Juga kehangatan yang terus mengalir dari anggota keluarga lain.

Dan kini, aku menggugat segala!
Perbedaan bahasa yang tak kupersoalkan dan justru menunjukkan bahwa aku pintar beradaptasi dalam hal berbahasa. Ciri khas mandiri yang makin kupertahankan. Kebiasaan-kebiasaan baru yang tak sama dengan kebiasaan keluargaku di Bogor yang berhasil kuikuti iramanya.

Dan kini, aku menggugat segala!
Peran sebagai anak tertua yang main perintah dan selalu dituruti saat di Bogor, kini berganti menjadi kakak sekaligus adik di rumah keluarga suami. Dan sejauh ini, semua berjalan lancar.

Dan kini, aku menggugat segala!
Aku tetap makan roti bahkan Ayah beberapa kali secara khusus membelikannya untukku. Aku masih bisa menonton televisi sesuai dengan acara kesukaanku. Aku bias tidur siang seperti saat di Bogor. Aku dapat menonton film, mendengarkan lagu, bahkan membuka social media dari komputer di sini.
Semuanya bisa kulakukan dengan nyaman meski ada beberapa hal yang harus kuingat-ingat untuk tidak kulakukan.

Dan sungguh aku menggugat segala yang berkata bahwa mertua sulit berdamai dengan menantu sebab bagiku, mertuaku adalah tempat curhat baru.

Dia Pergi Tanpa Kata


Pagi ini dia pergi tanpa kata. Hanya mengucap "aku berangkat" lalu berlalu dari pandangan. Sementara aku masih terpaku pada laya hp yang entah apa sesungguhnya yang sedang kupandang. Sebab ternyata itu hanya aksi protes.


Dia masih berdiri di depan rumah saat kucoba mencari perhatiannya dengan mengirim satu sms tak penting. Dan aku sungguh tak sabar hingga mengirimnya lagi. Dan semakin tak sabar hingga kupasang hp di telinga. Meneleponnya. Aku meneleponnya yang berjarak kurang dari 5 meter!

Pagi ini dia pergi tanpa kata. Hanya suara motornya yang bernyanyi di telingaku. Hanya hatiku yang jadi tak menentu.

Pagi ini dia pergi tanpa kata. Tapi aku tak pernah berhenti kirim doa. Sambil terus berharap dia memutar kemudinya di tikungan depan. Dan itu tak kesampaian.

Pagi ini dia pergi tanpa kata. Dan suara tangis kusembunyikan di balik bantal.. lagi.

Selasa, 19 Juni 2012

I'M BACK !!

saya masih mencintai nulis seperti dulu. hanya saja tidak seaktif dulu. dan itu yang saya sesalkan saat ini: justru saya kembali sebab (seolah) tak ada pilihan lain selain menulis meski sesungguhnya nulis selalu jadi prioritas dan kecintaan saya


maka di sinilah saya yang sedang kembali menapaki jejak-jejak yang pernah tertinggal atau malah justru ditinggalkan

dan saya.. kembali