Saya baru terlelap 1 jam ketika jam 3 pagi ayah membangunkan saya dengan sebuah ketukan di pintu kamar. Ketika saya buka pintu, tampak jelas ayah sudah berpakaian rapi dengan kunci mobil di tangan kiri. Ayah bilang, “Belang kesakitan di rumah sakit, ayah-mama mau ke sana. Kakak bangun, pintu kunci dulu ya.” Saya beku di tempat. Dengan kondisi badan lelah dan baru 1 jam menenggelamkan diri pada nyamannya selimut, kata-kata ayah membuat saya blank sesaat. Saya tidak berkata apa-apa, hanya duduk di atas kasur. Saya membayangkan jalanan Laladon yang menjadi sangat sepi pada jam begini. Saya lihat mama berbicara kepada nenek, menjelaskan apa yang terjadi, dengan sabar. Sementara itu pikiran saya melayang pada tadi malam, “Saturday night”, yang saya tulis di status.
Malam ini saya sadar sudah kelewat batas. Saya izin bertemu teman-teman, “Sekedar ngobrol karena udah lama gak ketemu”, kata saya pada mama melalui sms. Dan mama memberi ACC, asal tidak sampai malam. Saya meng-amin-i.
Singkat cerita, pulang kerja saya bertemu teman-teman di salah satu tempat makan dekat Tugu Kujang. Kami makan bersama, ngobrol, berfoto-foto, dan “rapat” mengenai rencana kegiatan yang sedang kami rancang. Tanpa terasa, jam tangan ungu saya serasa menampar pipi. Hampir jam 11 malam! Astaghfirullah.. Belum cukup, hp di tas yang tak sempat saya sentuh karena asyik menulis, menunjukkan 5 missed calls dan 6 messages. Dan semuanya dari rumah! Ampun, Gusti.. Orang tua pasti cemas dan khawatir. Saya memutuskan pulang bersama seorang teman.
Sampai di rumah, ayah yang menyambut. Lebih tepatnya ayah menunggu saya pulang, karena yang lain sudha tidur. Mama sudah terbaring di kamar, saya mengintipnya sebentar. Masih tersisa raut khawatir di wajahnya. Ayah tidak berkata apa-apa. Saya merasa sangat bersalah. Bahkan ayah masih menunggu sampai saya benar-benar masuk kamar, setelah selesai dari kamar mandi, baru kemudian beliau tidur. Saya pun tidur, dan belum sempat meminta maaf.
Lalu sekarang, kedua orang tua saya sibuk berbenah diri sebelum berangkat ke rumah sakit. Saya diam memperhatikan. Tiba-tiba merasa sangat menyesal. Ayah bertanya, “Kakak mau ikut?”, dan saya hanya mampu menggeleng pelan. Kalau saya ikut, adik-adik tidak ada yang menjaga, meski sebetulnya ingin saya bersiap secepat kilat dan turut serta hanya demi memastikan bahwa kedua orang tua saya baik-baik saja dalam perjalanan dan selamat sampai tujuan. Ingin rasanya saya melihat kakek yang sedang dirawat. Tapi saya pikir, besok pagi saya datang menengok kakek.
Jam 3 pagi kedua orang tua saya berangkat. Otak saya dipenuhi pikiran jelek. Sangat jelek. Pertanyaan-pertanyaan menyeramkan yang konyol tentang perjalanan menuju rumah sakit, memenuhi otak saya. Dan saya merasa makin menyesal. Saya belum sempat meminta maaf karena pulang tengah malam, sementara dini hari keduanya harus ke luar. Tuhan, apapun bias terjadi kan..
Perasaan tidak tenang saya mungkin dinilai “lebay” oleh sebagian orang. Tapi bagi saya, ini adalah penyesalan yang tulus juga cinta. Dan mestinya, perasaan ini ada pada diri tiap manusia yang mengaku sebagai anak, ketika membaca tulisan ini, ketika mengingat orang tuanya.
“Kak, alhamdulillah udah sampe RS”.
Tapi entah kenapa, saya malah makin resah dan baru tidur setelah subuh. Astaghfirullah…