(berakhir di atas stasiun KA Ekonomi Bogor – Jakarta Kota, 28-10-2010)
Dulu, kelahiranmu begitu dinanti
Diperjuangkan hingga batas akhir
Jiwa melayang menjadi mati
Pengorbanan itu tak jua berhenti
Kau lahir bagai ‘bayi’ penuh pesona
Berccap “anak ingusan” rasanya
Yang merangkak pelan tatap dunia
…
Biar saja mereka mencela
Tak perlu dengar teriakan nada sumbang
Kau tetap yang terhebat dan terindah
Meski ‘bayi’ lain bermunculan
Atau ‘si remaja’ yang jadi ‘dewasa’
Kau tetap yang terhebat dan terindah
Meski ‘teman kecil’-mu menyusul di tikungan
Meski yang ‘dewasa’ seakan menggilas
Kau tetap yang terhebat dan terindah
Saat ‘dewasa’ menjemputmu
Kami jadi saksi atas kecemerlangan itu
Kau terlihat anggun
Tak jadi angkuh
Tapi entah..
Perlahan namun pasti senyummu pudar
Yang tertinggal hanya air mata kesakitan
Wajah penuh luka
Berbalut kecewa
Dikhianati kami yang kau damba penuh harap
Tuk kembalikan kau dan pesona
Maaf, sayang…
Kami menyakiti hati indahmu
Berulang-ulang membuat pilu
Hingga perlu kau mengamuk
Dan menangis dalam bisu
Ampuuuuun…
Sungguh, ampun…
Maafkan kebodohan ini
Maafkan kerakusan kami
Maafkan ke-alpaan kami
Maafkan membuatmu sakit
Ampuuuuun…
Sungguh, ampun…