Kamis, 21 Juni 2012

DRAMA DI GERBONG KERETA


Senin, 5 Juli 2010 ; 09.05

Saya hanya jadi penonton di gerbong 2 KA Ekonomi tujuan Jakarta Kota saat drama memilukan itu terjadi, antara anak lelaki dengan ibunya. Saya dan seorang ibu yang menyaksikannya hanya mampu mengelus dada, menahan diri agar tidak gelap mata yang pada akhirnya hanya akan menambah banyak penonton saja. Sejujurnya, saya tidak mengerti bahasa yang digunakan para pemeran drama tersebut. Tapi, dengan mengatasnamakan basic keilmuan selama 4 tahun berikut gelar sarjana yang disandang (*sombong), saya mencoba memahami arti body language kedua pemain tersebut.


Miris hati saya melihat si anak, yang ternyata sudah punya anak perempuan, menghampiri ibunya yang duduk diantara penumpang lain (dia dan saya berdiri) lalu memarahi ibunya hanya karena sang ibu bertanya kepada tukang jualan apakah dia menjual obat luka kaki. Usut punya usut, ternyata kaki sang ibu terluka akibat terbentur saat hendak naik kereta. Sang anak pun berbicara dengan nada keras dan kasar dalam bahasanya yang tidak saya mengerti. Si ibu memperlihatkan luka memar kebiruan-nya, namun anak lelakinya memalingkan wajah, ogah melihat luka wanita yang melahirkannya.

Beberapa kali ibu berbicara kepadanya, tapi sekalipun tak direspon. Ingin rasanya saya menjewer telinga bapak muda itu lalu menarik wajahnya hingga tepat berhadapan dengan wajah wanita yang begitu mirip dengannya! Tapi apa daya, saya hanya seorang penonton yang tak mampu melakukan itu.
Detik berikutnya, anak kecil berusia sekitar 4 tahun menghampiri sang ayah, yang adalah pemeran antagonis dalam drama memilukan ini. Tapi ternyata, si anak kecil –yang menurut saya tidak cantik– itu pun tak kalah antagonis dari ayahnya. Like father like daughter. Putri kecil berambut pendek itu memeletkan lidah ke arah neneknya! Beruntung tangan saya sedang memegang hp, kalau tidak, sudah saya pelintir lidahnya yang pendek itu! Dia meminta agar ayahnya menggendongnya, dan sang ayah pun melakukan itu. Ayah yang baik, tapi bukan anak yang baik. Sambil berdiri menggendong anaknya, ia pun menggendong tas ransel, dan tangan kanannya memegang sandal sang buah hati. Dan tebak apa yang dilakukan istrinya yang juga berperan dalam drama itu?? Hanya satu hal yang dilakukan sang istri sekaligus menantu ibu tua itu: TIDUR!!

Si ibu yang tidak tega melihat beban sang anak pun berinsiatif meringankannya dengan mengambil alih penjagaan sandal sang cucu. Ibu tua itu mengambil sandal sang cucu dari tangan anaknya, tetapi anaknya menarik kuat tidak ingin melepasnya. Padahal, apa salahnya sih, Pak?! Ibu pun meminta agar diizinkan memegang sandal cucunya. Tapi apa yang dilakukan sang anak?? Bukannya menjawab, anak lekakinya yang sudah menjadi ayah itu malah melengos pergi meninggalkan sang ibu dan mengambil posisi yang jauh dari ibunya. Sementara istrinya masih tetap tidur.

Saya menyesali satu hal, mengapa saya harus tertangkap basah oleh ibu itu saat sedang menyaksikan duka yang ia alami. Hingga membuatnya tertunduk tanpa kata, tapi bibirnya masih tersenyum. Senyum serba salah. Dan andai ekspresi itu berbahasa, maka inilah katanya: “Apa salah bundo, nak?”

Apa-apaan ini, dunia?
Rasulullah saja bersabda: “Ibumu, Ibumu, Ibumu, baru Ayahmu”. Lalu, mengapa ada anak yang tega berbuat begitu keji terhadap ibunya?
Tapi, “Hati-hati, Pak. Mungkin si kecil yang tidak cantik itu akan memberi kehormatan kepada Anda, suatu ahri nanti, untuk merasakan apa yang pernah Anda lakukan terhadap ibu Anda”, pesan yang tak mampu saya ucapkan.